Rabu, 05 Juli 2017

Bahasa Roh



      “ Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya.” (Kis 2:4)

Berkata-kata dengan bahasa Roh yang benar


Berkata-kata dalam bahasa Roh merupakan perwujudan adikodrati Roh Kudus, yaitu suatu ucapan yang diilhami Roh, yang mana seorang percaya berkata-kata dalam suatu bahasa (Yun. glossa) yang belum pernah dipelajari. Mungkin ucapannya dalam salah satu bahasa manusia (Kis 2:6) atau dalam bahasa yang tidak dikenal di dunia ini (1 Kor 13:1). Itu bukan berbicara dalam “keadaan kesurupan”.

Bahasa Roh sebagai bukti fisik yang awal mengenai baptisan dalam Roh Kudus. Berkata-kata dalam bahasa Roh adalah ucapan yang diilhami di mana roh orang percaya dan Roh Kudus bergabung dalam suatu pujian atau nubuat. Allah menghubungkan hal berkata-kata dengan bahasa Roh dan baptisan dalam Roh ini sejak awal supaya 120 orang pada hari Pentakosta dan orang percaya selanjutnya mempunyai keyakinan berdasarkan pengalaman bahwa mereka sungguh telah menerima baptisan Roh Kudus. Jadi pengalaman ini dapat disahkan secara objektif mengenai saat dan tempat terjadinya. Sepanjang sejarah gereja, pada saat bahasa Roh disangkal atau diabaikan, maka kebenaran atau pengalaman Pentakosta diputarbalikkan atau diabaikan sama sekali.

Berkata-kata dengan bahasa Roh juga dinyatakan sebagai karunia Roh Kudus bagi orang percaya (1 Kor 12:4-10). Karunia ini mempunyai 2 tujuan utama:

a.  Bahasa Roh yang disertai penafsiran untuk menyampaikan isi ucapan itu kepada jemaat supaya semua dapat ikut serta dalam penyembahan, pemujaan atau nubuat yang dipimpin Roh.

b.  Berbicara dalam bahasa Roh dipakai oleh orang percaya untuk berbicara kepada Allah dalam ibadah pribadi dan dengan demikian meningkatkan kehidupan rohaninya. Bahasa Roh berarti berbicara pada tingkat roh dengan maksud berdoa, mengucap syukur atau menyanyi.


Bahasa Roh yang Palsu


     Sekedar berbicara dengan “bahasa lain” atau penyataan adikodrati lain tidaklah dengan sendirinya membuktikan terjadinya pekerjaan dan kehadiran Roh. Hal ini dapat ditiru oleh usaha manusia atau hasil tindakan kuasa-kuasa kegelapan. Alkitab mengingatkan kita agar jangan percaya akan setiap roh, melainkan memeriksa apakah pengalaman rohani kita sungguh datang dari Allah. Untuk menjadi sah, bahasa Roh harus seperti yang diberikan oleh Roh. (Kis 2:4). Untuk mengikuti norma kitab Kisah Para Rasul, berbicara dalam bahasa Roh harus menjadi akibat spontan dari pemenuhan pertama Roh Kudus. Pengalaman ini bukan sesuatu yang dipelajari, bahkan tidak dapat diajarkan dengan menginstruksikan orang percaya untuk mengucapkan bunyi-bunyi yang tidak karuan.

     Roh Kudus dengan tegas mengingatkan bahwa pada hari-hari terakhir akan ada kemunafikan dalam gereja (1 Tim 4:1-2), tanda dan mujizat dari kuasa-kuasa Iblis (Mat 7:22-23), serta pekerja-pekerja penipu yang menyamar sebagai hamba-hamba Allah (2 Kor 11:13-15). Kita harus memperhatikan peringatan-peringatan ini tentang berbagai penyataan dan tanda rohani tiruan. "Kedatangan si pendurhaka itu adalah pekerjaan Iblis, dan akan disertai rupa-rupa perbuatan ajaib, tanda-tanda dan mujizat-mujizat palsu, dengan rupa-rupa tipu daya terhadap orang-orang yang harus binasa karena mereka tidak menerima dan mengasihi kebenaran yang dapat menyelamatkan mereka. Dan itulah sebabnya Allah mendatangkan kesesatan atas mereka, yang menyebabkan mereka percaya akan dusta, supaya dihukum semua orang yang tidak percaya akan kebenaran dan yang suka kejahatan." (2 Tes 2: 9-11).

     Agar dapat menilai  apakah bahasa Roh itu sejati, yaitu sungguh-sungguh dari Roh Kudus, kita harus menemukan apa yang diajarkan Alkitab sebagai hasil dari baptisan Roh. Apabila seseorang yang mengatakan bahwa  ia berbicara dalam bahasa Roh tetapi tidak mengabdikan diri kepada Yesus Kristus dan kekuasaan Alkitab, dan tidak berusaha menaati Firman Allah, maka penyataan orang itu tidaklah dari Roh Kudus.

“Karena itu setiap orang yang tetap berada di dalam Dia, tidak berbuat dosa lagi; setiap orang yang tetap berbuat dosa, tidak melihat dan tidak mengenal Dia.

Anak-anakku, janganlah membiarkan seorangpun menyesatkan kamu. Barangsiapa yang berbuat kebenaran adalah benar, sama seperti Kristus adalah benar, barangsiapa yang tetap berbuat dosa, berasal dari Iblis, sebab Iblis berbuat dosa dari mulanya. Untuk inilah anak-anak Allah menyatakan dirinya, yaitu supaya Ia membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis itu.

Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi; sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah.

Inilah tandanya anak-anak Allah dan anak-anak Iblis: setiap orang yang tidak berbuat kebenaran, tidak berasal dari Allah, demikian juga barangsiapa yang tidak mengasihi saudaranya.” (1 Yoh 3:6-10). 
 "Tidak berbuat dosa lagi", berlawanan dengan "berbuat dosa" (Yun. hamartano) ditulis dalam bentuk infinitif aktif masa kini, yang menunjukkan tindakan yang terus berlangsung. (Terus menerus berbuat dosa). Yohanes menekankan bahwa orang yang sungguh-sungguh dilahirkan kembali dari Allah, tidak mungkin mempunyai cara hidup yang terus menerus berdosa dengan sengaja. Orang percaya bisa kadang-kadang berdosa dan gagal untuk memenuhi standar Allah yang tinggi, tetapi mereka tidak terus menerus hidup dalam dosa.


Kiranya Tuhan menolong kita untuk dapat membedakan orang yang berbahasa Roh yang benar dan berbahasa Roh yang palsu dan jika ada yang berbahasa Roh hendaklah sungguh-sungguh berbahasa Roh yang dari Tuhan dan diikuti dengan cara hidup yang memuliakan Tuhan.  Tuhan Yesus Memberkati, Amin!

Rabu, 12 April 2017

PASKAH



“Dan beginilah kamu memakannya: pinggangmu berikat, kasut pada kakimu dan tongkat di tanganmu; buru-burulah kamu memakannya, itulah Paskah bagi Tuhan.” (Kel. 12:11)



Sejarah Paskah

Sejak keluarnya bangsa Israel dari Mesir sekitar tahun 1445 SM, orang Ibrani (kemudian disebut orang Yahudi) telah merayakan Paskah setiap tahun di musim semi.

Setelah menjadi budak di Mesir selama 400 tahun lebih, Allah menetapkan untuk membebaskan keturunan Abraham, Ishak dan Yakub itu dari perbudakan. Ia membangkitkan Musa dan menugaskannya untuk memimpin bangsa itu keluar dari Mesir. Dalam ketaatan pada kehendak Allah, Musa menghadapi Firaun dengan mandat Allah, “Biarkan umat-Ku pergi.” Untuk menekankan kesungguhan amanat Tuhan ini kepada Firaun, maka Musa dengan kuasa Allah, mendatangkan berbagai tulah atas Mesir sebagai hukuman. Ketika terjadi beberapa tulah, Firaun bersedia melepaskan umat Israel, tetapi ia menarik kembali keputusannya itu setelah tulahnya hilang. Pada tulah ke-10 (tulah terakhir), Allah mengutus malaikat kematian ke seluruh tanah Mesir untuk membunuh “semua anak sulung, dari anak manusia sampai anak binatang.”

Orang Israel juga tinggal di Mesir, bagaimana mereka dapat luput dari malaikat maut itu? Tuhan memberi perintah khusus kepada umat Israel, jika mereka mentaati perintah itu, setiap keluarga dan anak sulung mereka akan dilindungi. Setiap keluarga harus mengambil seekor anak domba jantan berumur satu tahun dan tanpa cacat untuk dibunuh pada waktu senja pada tanggal 14 bulan Abib; keluarga yang kecil dapat berbagi seekor anak domba. Sebagian darah anak domba yang tersembeli itu harus dipercikkan pada kedua tiang pintu dan ambang atas rumah mereka. Ketika malaikat maut melewati daerah itu, ia akan melewati rumah-rumah yang tiang pintu dan ambang atasnya telah diperciki darah. Demikianlah oleh darah anak domba yang tersembelih, orang Israel luput dari hukuman yang menimpa semua anak sulung Mesir. Allah memerintahkan tanda darah itu bukan karena Ia tidak bisa membedakan orang Israel dari orang Mesir, tetapi karena Ia ingin mengajar umat-Nya tentang pentingnya ketaatan dan penebusan dengan darah, dan dengan demikian mempersiapkan bagi “Anak Domba Allah” yang kemudian akan menghapus dosa dunia (Yohanes 1:29).

Pada malam itu pula orang Israel sudah harus siap untuk berangkat. Mereka diperintahkan untuk memanggang, tidak merebus anak domba yang tersembelih, serta menyediakan sayur pahit dan roti yang tidak beragi. Ketika malam tiba, mereka sudah siap untuk memakan makanan itu dan berangkat dengan cepat ketika orang Mesir datang dan memohon mereka untuk meninggalkan negeri itu. Segala sesuatu terjadi sesuai dengan apa yang dikatakan Tuhan (Keluaran 12:29-36).



Paskah Dalam Sejarah Israel/Yahudi

Sejak saat yang bersejarah itu, umat Allah selalu merayakan Paskah pada setiap musim semi, sebagai tanggapan pada perintah-Nya bahwa “Paskah merupakan ketetapan untuk selamanya” (Keluaran 12:14). Akan tetapi, Paskah merupakan tanda peringatan. Hanya korban yang disembelih di Mesirlah yang merupakan korban yang efektif. Sebelum Bait Suci didirikan, setiap hari Paskah orang Israel berkumpul di rumah, menyembelih seekor anak domba, menyingkirkan semua ragi dari rumah mereka dan makan sayur pahit. Yang lebih penting lagi, mereka menceritakan kembali kisah keluaran luar biasa para leluhur mereka dari Mesir dan perbudakan Firaun. Jadi, dari angkatan ke angkatan, umat Ibrani ingat akan penebusan dan pembebasan mereka dari Mesir. Ketika Bait Suci selesai dibangun, Allah memerintahkan bahwa perayaan Paskah dan penyembelihan anak domba dilaksanakan di Yerusalem. Alkitab mencatat perayaan Paskah yang istimewa di kota kudus itu.

Paskah juga dirayakan oleh orang Yahudi pada zaman Perjanjian Baru. Satu-satunya peristiwa masa kecil Yesus yang tercatat terjadi ketika orang-tua-Nya membawa Dia ke Yerusalem pada usia 12 tahun untuk merayakan Paskah (Lukas 2:41-50). Pada waktu selanjutnya, Yesus secara tetap pergi ke Yerusalem untuk merayakan Paskah (Yohanes 2:13), Perjamuan terakhir dari Yesus bersama murid-murid-Nya di Yerusalem, sesaat sebelum disalib, merupakan perjamuan Paskah (Matius 26:1-2, 17-19). Yesus sendiri disalibkan pada hari Paskah, sebagai Anak Domba Paskah itu (1 Korintus 5:7) yang membebaskan semua orang percaya dari dosa dan kematian.

Orang Yahudi dewasa ini masih merayakan Paskah, walaupun sifatnya sudah agak berubah. Karena tidak ada lagi Bait Suci di Yerusalem di mana seekor anak domba dapat disembelih, perayaan Yahudi masa kini di sebut Seder, tidak lagi dirayakan dengan anak domba yang disembelih. Namun, keluarga masih berkumpul, semua ragi dibuang dengan upacara khusus dari rumah-rumah Yahudi, dan kisah keluaran  dari Mesir diceritakan kembali oleh kepala keluarga.



Paskah Bagi Orang Kristen

Bagi orang Kristen, Paskah penuh dengan lambang yang bersifat nubuat karena menunjuk kepada Yesus Kristus. Perjanjian Baru dengan tegas mengajarkan bahwa hari raya Yahudi merupakan “bayangan dari apa yang harus datang”, yaitu penebusan melalui darah Yesus Kristus. Allah mengeluarkan orang Israel dari Mesir bukan karena mereka itu layak, tetapi karena Ia mengasihi mereka dan setia kepada perjanjian-Nya. Demikian pula keselamatan yang kita peroleh dari Kristus adalah kasih karunia Allah yang menakjubkan.

Darah yang dipercikkan pada tiang pintu dan ambang atasnya dimaksudkan  untuk menyelamatkan anak sulung dalam setiap keluarga dari kematian; darah ini menunjuk kepada penumpahan darah Yesus di salib supaya menyelamatkan kita dari kematian dan dari murka Allah terhadap dosa. Anak domba Paskah itu adalah sebuah korban yang berfungsi sebagai pengganti anak sulung; korban ini menunjuk kepada kematian Yesus Kristus sebagai ganti kematian orang percaya. Paulus secara tegas menyebut Kristus anak domba Paskah yang dikorbankan demi kita. Anak domba jantan yang akan disembelih haruslah “tanpa cacat” (Keluaran 12:5); anak domba itu melambangkan ketidakberdosaan Kristus, Anak Tunggal Allah yang sempurna.

Memakan daging anak domba itu melambangkan pemanunggalan masyarakat Israel dengan kematian anak domba itu, kematian yang menyelamatkan mereka dari kematian jasmani. Demikian pula, ikut serta dalam Perjamuan Kudus melambangkan keikutsertaan kita dalam kematian Kristus, kematian yang menyelamatkan dari kematian rohani (1 Korintus 10:16-17; 11:24-26). Sebagaimana halnya dengan Paskah, hanyalah korban yang pertama, kematian-Nya di salib, menjadi korban yang efektif. Kita mengadakan Perjamuan Kudus sebagai suatu “peringatan” akan Dia (1 Korintus 11:24). Pemercikan darah pada tiang pintu dan ambang atasnya dilaksanakan dengan iman yang taat; tanggapan iman ini mendatangkan penebusan melalui darah (Keluaran 12:7,13). Keselamatan melalui darah Kristus diperoleh hanya melalui “ketaatan yang disebabkan oleh iman” (Roma 1:5; 16:26). Anak domba Paskah harus dimakan dengan roti yang tidak beragi, karena ragi dalam Alkitab biasanya melambangkan dosa dan pencemaran. Roti yang tidak beragi ini melambangkan pemisahan orang Israel yang ditebus dari Mesir, yaitu dari dunia dan dosa. Demikian pula, umat Allah dipanggil untuk memisahkan diri mereka dari dunia yang penuh dosa dan menyerahkan diri kepada Allah saja. Amin!


Senin, 27 Maret 2017

A Righteous Man


“……Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh itu hidup bergaul dengan Allah.”

(Noah was a righteous man, blameless among the people of his time, and he walked with God. (Genesis 6:9)



     Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang termulia diantara makhluk-makhluk yang lain. Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan menurut “gambar dan “rupa”-Nya. Berdasarkan gambar ini, mereka dapat menanggapi dan bersekutu dengan Allah dan secara unik mencerminkan kasih, kemuliaan dan kekudusan-Nya. Manusia memiliki keserupaan moral dengan Allah, karena mereka tidak berdosa dan kudus, memiliki hikmat, hati yang mengasihi dan kehendak untuk melakukan yang benar. Mereka hidup dalam persekutuan pribadi dengan Allah yang meliputi ketaatan moral dan hubungan yang intim. Namun ketika manusia itu jatuh dalam dosa, kejahatannya besar, dan kecenderungan hati mereka selalu jahat, maka keserupaan moral dengan Allah itu tercemar dan sangat menyedihkan hati Tuhan dan bahkan Tuhan menyesal karena telah menciptakan manusia (Kejadian 6:6).

     Pada zaman Nuh, ketika manusia mulai bertambah banyak jumlahnya di muka bumi, mereka saling mengawinkan antara “anak-anak Allah” dan “anak-anak  perempuan manusia.” “Anak-anak Allah”, kemungkinan besar adalah keturunan Set yang saleh. Mereka mulai menikah dengan “anak-anak perempun manusia” yaitu wanita tidak saleh dari keturunan Kain. (Teori bahwa “anak-anak Allah” itu adalah malaikat, kurang dapat diterima karena Yesus menyatakan bahwa malaikat tidak menikah, Matius 22:30, Mark 12:25). Persatuan orang saleh dengan yang tidak saleh ini menghasilkan “kejahatan”. Sebagai akibatnya, bumi ini tercemar dan dipenuhi dengan kekerasan dan kejahatan. Pada zaman Nuh kejahatan manusia begitu besar dan terang-terangan yaitu dengan perkawinan bebas. “Anak-anak Allah” melihat bahwa “anak-anak perempuan” itu cantik-cantik, lalu mereka mengambil istri dari antara perempuan-perempuan itu siapa saja yang mereka sukai (Kejadian 6:2). Hal ini sangat memilukan hati Tuhan sehingga Ia berfirman: “Aku akan menghapuskan manusia yang telah Kuciptakan itu dari muka bumi, baik manusia maupun hewan dan binatang-binatang melata dan burung-burung di udara, sebab Aku menyesal, bahwa Aku telah menjadikan mereka. (Kejadian 6:7).

Tetapi yang menarik, selanjutnya dikatakan: “ Tetapi Nuh mendapat kasih karunia di mata Tuhan.” (Kejadian 6:8). Di tengah kefasikan dan kejahatan yang merajalela ketika itu, Allah menemukan dalam diri Nuh, seorang yang benar, tidak bercela dan berhubungan karib dengan-Nya. “Tidak bercela di antara orang-orang sezamannya” menunjukkan bahwa dia memisahkan diri dari kejahatan moral masyarakat disekitarnya. Oleh karena iman dan pergaulannya dengan Allah itu, maka ia mendapat kasih karunia dari Allah. Ia diselamatkan dari murka Allah. Allah berfirman, dan firman-Nya pasti digenapi.

Allah berfirman kepada Nuh: “Aku telah memutuskan untuk mengakhiri hidup segala makhluk, sebab bumi telah penuh dengan kekerasan oleh mereka, jadi Aku akan memusnahkan mereka bersama-sama dengan bumi. Buatlah bagimu sebuah bahtera, ………Sebab sesungguhnya Aku akan mendatangkan air bah meliputi bumi untuk memusnahkan segala yang hidup dan bernyawa di kolong langit; segala yang ada di bumi akan mati binasa. Tetapi dengan engkau Aku akan mengadakan perjanjian-Ku, dan engkau akan masuk ke dalam bahtera itu: engkau bersama-sama dengan anak-anakmu dan istrimu dan istri anak-anakmu. Dan dari segala yang hidup, dari segala makhluk, dari semuanya haruslah engkau bawa satu pasang ke dalam bahtera itu, supaya terpelihara hidupnya bersama –sama dengan engkau; jantan dan betina harus kaubawa.” (Kejadian 6:13-19). Allah tidak main-main dengan apa yang dikatakan-Nya. Ia sungguh-sungguh membinasakan manusia dan melenyapkan bumi, tapi Nuh dan keluarganya diselamatkan.

     Seringkali cerita tentang Nuh ini dianggap suatu cerita yang biasa-biasa saja atau hanya cerita untuk anak Sekolah minggu saja di gereja, sehingga tidak begitu menarik perhatian kita. Tidak menyentuh hati. Sudah kuno. Yang menarik sekarang adalah cerita “Beauty and the Beast” atau cerita-cerita yang diluar Alkitab. Saudara, kalau ini yang terjadi, maka bersiap-siaplah, karena kita akan mengalami nasib yang sama dengan orang-orang pada zaman Nuh. Manusia yang tidak ada lagi ketertarikan dengan Tuhan kecenderungannya adalah tertarik dan mengikuti dunia dan kehidupan bebas didalamnya termasuk perilaku amoral, kefasikan, pornografi dan kekerasan. Tuhan akan membinasakan kita, walaupun tidak dibinasakan lagi dengan air bah seperti pada zaman Nuh tapi Tuhan akan menghukum dan membinasakan kita dengan cara yang berbeda. Kita akan dilemparkan ke dalam lautan api kekal selama-lamanya jika kita terus menerus berbuat jahat, mengikuti dunia dan tidak mengikuti Tuhan. Cerita tentang Nuh ini, sebenarnya memiliki arti yang dalam. Bahtera yang dipakai sebagai sarana untuk menyelamatkan keluarga Nuh  adalah melambangkan “Kristus.” Kita tidak lagi hidup di zaman Nuh, karena kehidupan di zaman Nuh dan semua yang ada sudah dibinasakan, tetapi cerita ini masih sangat berkaitan dengan kehidupan kita di zaman sekarang ini. Perilaku manusia di zaman Nuh ada di zaman kita saat ini. Tuhan akan menghukum.  Tapi karena Allah itu kasih dan Dia begitu mengasihi manusia, maka Ia menyediakan sarana untuk keselamatan manusia yaitu melalui Yesus Kristus. Dalam Yohanes 3:16 tertulis: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. “ Ayat ini mengungkapkan isi hati dan tujuan Allah. Kasih Allah sangat luas untuk menjangkau semua orang di dunia ini. Allah ingin kita mempercayai Tuhan dan mengikuti jalan dan perintah-Nya. Mengikuti perintah Tuhan artinya tidak lagi hidup mengikuti dan mengasihi dunia. Kita dituntut untuk hidup bergaul erat dengan Tuhan, mengasihi Tuhan, dan hidup tidak bercela. Nuh adalah teladan bagi kita untuk hidup berkenan kepada Tuhan ditengah kefasikan yang merajalela, tapi ia terbukti hidup tidak bercela dan hidup benar di mata Tuhan. Kiranya Tuhan memampukan kita untuk mengikuti Tuhan, bergaul akrab dengan-Nya, mengikuti perintah-perintah-Nya dan hidup berkenan di hadapan-Nya. Tidak mudah, tapi jika kita memohon pertolongan-Nya untuk memampukan kita, sedikit demi sedikit, kita pasti bisa. Tuhan Yesus Memberkati, Amin!